Ritual Mandi Safar Tradisi Melayu Lingga

KL – Ribuan masyarakat Lingga khususunya di Daik Lingga ikuti pawai budaya Ritual Mandi Safar tingkat Kabupaten Lingga di yang di mulai dari Masjid Jami Sultan Lingga menuju Reflika Istana Damnah, dilanjutkan doa bersama dan Ritual Mandi Safar di Pemdndian Lubuk Papan oleh Dinas Kebudayaan Lingga, Rabu, (7/11).
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga mengatakan, sebelum ritual mandi safar di laksanakan, pihaknya menyiapkan pawai buaya melibatkan PAUD, SD, SMP dan SMA, yang di lepas dari Masjid Jami Sultan Lingga menuju gerbang masuk Istana Damnah.
“Dari gerbang arak-arakan berjalan kaki menuju Reflika Istana Damnah. Pawai di mulai Pukul 07.30 setelah melakukan doa selamat dan doa tolak bala bersama di Masjid Kami Sultan Lingga,” ungkap H Muhammad Ishak.
Dia juga menyampaikan, mandi Safar mulai di gaungkan sejak Pemkab Lingga berdiri Tahun 2005 lalu. Dalam dua tahun ini, di buat lagi lebih tertib dengan beberapa kegiatan tambahan.
“Momen ini perlu di semarakkan, selain melestarikan, karena merupakan warisan budaya melayu yang sekarang ini sudah di akui oleh negara melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sebagai warrisan tak Benda Tahun 2018 ini,” jelasnya.
Menurutnya, mendapat pengakuan pusat warisan tak Benda tidak gampang, harus melalui kajian, memiliki video dan masih hidup. Syarat mandi safar sangat mendukung sekali setelah ada kajian dari Sekda Lingga Juramadi Esram masa dia masih bertugas di Pinang. Atas tulisan tangan dia lah mendapat nilai tertinggi sehingga usulan itu di kabulkan.
“Aplus kita berikan pada pak sekda. Atas dukungan sekda, wakil bupati dan Bupati Lingga, mandi safar menjadi warisan dan tertanam dan terlestarikan sampai sekarang di Bunda Tanah Melayu,” tuturnya.
Tradisi mendi safar ini tidak saja di Lubuk Papan tapi di berapa titik objek wisata. Pantai Serim Bukit Harapan, Pantai Mempanak Sungai Pinang, Pasir Panjang Dusun Malar dan beberapa titik lainnya.
“Kegiatan tambahan boleh saja di buat, asalkan tidak lari dari momen mandi safar yang tujuannya mendekatkan diri pada Allah SWT (habluminallah) dan sesama manusia (hablumminannas) serta pelestarian alam, sehingga kita terhindar dari malabahaya dan malapetaka. Semoga doa kita di ijabah oleh Allah SWT,” paparnya.
Sementra Ketua MUI Kabupaten Lingga Ustad Badiulhasani memaparkan, manusia akan mengukir sejarahnya masing-masing. Budaya merupakan warisan leluhur orang-orang beriman terdahulu kuat dalam hubungan hablumninnas dan hablumminallah.
“Budaya merupakan perekat bagi orang tua kita terdahulu yang beriman. Ini terlepas dari pro dan kontra, ini warisan orang sholeh yang terkenal kesholehannya, mereka pewaris nabi untuk keselamatan umatnya,” kata dia.
Mandi safar meruapakan budaya yang prsastinya di kitab orang melayu Daik disertai tuntunan ibadah. Mereka menukil tarikat yang anjurannya mandi safar, minum air salamun atau keselamatan. Kitab mereka masih ada di Museum Linggam Cahaya, mereka orang arifin dengan Allah SWT.
“Dalam kitab mereka, Allah SWT menurunkan 320 Ribu bencana setiap tahunnya.yang jatuhnya pada Rabu terakhir di bulan safar. Maka di anjurkan mandi safar, minum air salamun dan sholat sunat untuk menolak bala,” katanya.
Berdoa menjaga talisilaturahmi dan perbanyak sedekah jauhkan diri dari sifat zalim. Ajakan itu meruapakan warisan budaya yang mengingatkan orang terdahulu yang tinggi tingkat spritualnya tingkatannya sudah ahli sufi dan ahli arifin.
“Meraka menghidupkan ajaran alim ulama. Mari kita kaji ulang ilmu yang mereka tinggalkan. Lingga pusat peradaban dan budaya dan agama sesuai dengan sebutan Bunda Tanah Melayu,” katanya lagi sambil mengajak.
Mewakili Bupati Lingga H.Alias Wello, Sekda Juramadi Esram menuturkan, kenduri tradisi mandi safar, di jajakinya melalui tulisannya pada tahun 90-an lalu ketika dia masih di Dinas Kebudayaan.
“Kenduri ini sangat baik lagi, kita minta Dinas Kebudayaan membuat langkah supaya momen ini juga di laksanakan di tingkat desa. Kalau orang kelingga, ingat safar. Kalau tidak di promosikan orang luar tidak akan pernah tahu tentang tradisi kita yang sudah di akui oleh pusat,” sebutnya.
Tradisi mandi safar adalah menolak bala, juga ada pesan moralnya di situ, meminta ampun pada Allah SWT, nilai keindahan, sehingga hablum minallah dan minannas sejalan dengan tradisi.
“Kita harap, mulai setiap desa kita gelorakan tentang mandi safar, hingga tradisi ini dapat di buat hingga ke penjuru Lingga. Pembangunan boleh maju, tapi tradisi harus terjaga serta bersilaturahmi terus di perkuat,” imbuhnya. (mrs/ Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


− tujuh = 2

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.