KL- Sebelum memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral bukan logam atau batuan, Gubernur harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari Bupati/Walikota.
Penegasan itu tertuang dalam Pasal 20 ayat (2) huruf (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor : 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Begitu juga terkait pemberian WIUP Mineral Logam dan Batubara. Dalam Pasal 10, ayat (2) huruf (b) disebutkan, sebelum dilakukan pelelangan WIUP mineral logam atau batubara, Gubernur harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari Bupati/Walikota.
“PP ini masih berlaku, hanya kewenangan pemberian WIUP dan IUP yang beralih dari Kabupaten/Kota ke provinsi,” tegas Praktisi Hukum, Syam Daeng Rani, Minggu (11/2/2018).
Pernyataan yang disampaikan Syam Daeng ini, diharapkan dapat menyudahi polemik yang berkembang di kalangan pengusaha pertambangan bahwa sejak terbitnya Undang – Undang Nomor : 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka rekomendasi Bupati/Walikota tak diperlukan lagi dalam pemberian WIUP.
“Ini tak perlu dipolemikkan, aturannya sudah jelas. Kalau ada Kabupaten/Kota yang merasa dirugikan oleh Provinsi dalam hal prosedural perizinan ini, bisa saja melakukan gugatan hukum,” jelas Syam Daeng.
Bupati Lingga, Alias Wello, mengaku sependapat dengan pernyataan Syam Daeng. Dikatakannya, selama PP Nomor : 23 Tahun 2010 itu belum dicabut, maka sebelum pemberian WIUP, Gubernur harus mendapat rekomendasi terlebih dahulu dari Bupati/Walikota.
Karena itu, mantan Ketua DPRD Lingga yang sekarang menjadi Bupati Kabupaten Lingga H.Allias Wello yang akrab disapa Awe ini, meminta Gubernur Kepri, Nurdin Basirun, menarik kembali seluruh WIUP tambang pasir darat yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kepri di Kabupaten Lingga, tanpa rekomendasi Bupati. Terlebih dahulu
“Saya tidak anti investasi tambang, tapi harus melalui mekanisme dan mengikuti aturan yang berlaku. Rekomendasi ini penting untuk menjaga kesesuaian tata ruang, keseimbangan lingkungan dan aspek karakteristik budaya masyarakat berdasarkan kearifan lokal,” katanya.
Ia mencontohkan beberapa pengalaman konflik masa lalu yang berdampak pada permasalahan hukum yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia terkait penerbitan WIUP tanpa rekomendasi Bupati/Walikota di kawasan hutan dan cagar budaya.
“Dalam kegiatan usaha pertambangan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni dampak hukum, dampak sosial (konflik masyarakat) dan dampak kerusakan lingkungan. Semua ini hanya bisa diminimalisir, jika ada koordinasi dengan daerah pemilik wilayah,” kata Awe.(Hms./Red)